soleman

soleman
soleman

Sabtu, 08 Januari 2011

Negara Berkembang Minta Negara Maju Tidak Alihkan Perhatia

     Dalam  pembahasan iklim yang berlangsung di Bonn Juni lalu, negara berkembang meminta negara maju tidak mengalihkan perhatian dari target pengurangan emisi gas rumah kaca (green house gases-GHG) mereka pada komitmen periode kedua Protokol Kyoto dalam  Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).
Sementara itu, negara maju lebih fokus memperkenalkan lintas batas "pendekatan sektoral" (penetapan standar teknologi bagi negara berkembang) dan standar emisi dari penerbangan dan industri maritim.
Pada artikel 3.9 Protokol Kyoto, negara maju (Annex 1) berkomitmen pada target emisi yang mengikat. Komitmen periode pertama, berakhir tahun 2012 dengan keseluruhan target emisi 5%.
Kelompok Kerja Protokol Kyoto (AWG-KP) bekerja untuk memutuskan komitmen periode kedua, mencakup persentase pengurangan emisi dan bagaimana mencapai pengurangan tersebut.
Pada diskusi meja bundar 2-3 Juni lalu membahas rata-rata target pengurangan, dan beberapa negara berkembang berulangkali menekankan  untuk tidak mengalihkan perhatian mandat Artikel 3.9 Protokol Kyoto atau melemahkan komitmen untuk meningkatkan pengurangan emisi dengan memperkenalkan isu baru seperti pendekatan sektoral.
Dalam diskusi meja bundar membahas tiga isu: (1) perdagangan emisi dan  mekanisme proyek; (2) penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF); serta (3) pendekatan target emisi sektoral, serta kategori  sektor dan sumber gas rumah kaca.
Pada isu pertama, Duan Maosheng dari China berkata bahwa Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism-CDM) merupakan salah satu cara pengurangan emisi, dan tantangan yang dihadapi seperti efisiensi yang  rendah, registrasi yang meningkat, permintaan prosedur yang dipersulit, ketidakpastian harga dan kebutuhan pasar. Sementara, kontribusi penyediaan transfer teknologi sangat terbatas.
Maka yang lebih diperlukan adalah efisiensi, kelayakan, transparansi dan mekanisme sederhana, seperti halnya transfer teknologi yang lebih besar. Komitmen mitigasi yang lebih besar dari negara maju dapat lebih menciptakan permintaan pasar karbon.
Panelis Uni Eropa, Artur Runge-Metzger berkata bahwa pasar karbon sebagai instrumen kunci untuk mencapai tujuan mitigasi. Uni Eropa (EU) mencari cara mencapai pasar global yang nyata dan mendalam, untuk efisiensi harga pengurangan emisi dan transisi ekonomi karbon ke depan.
Hal ini harus dikemas secara mengikat untuk pengurangan emisi bagi Negara Annex 1, penyesuaian pengurangan diperlukan untuk menjaga temperatur global dalam batasan dua derajat dan mendukung komitmen pengurangan oleh negara-negara maju mencapai kisaran 25-40 persen di bawah level 1990 hingga 2020.
Artur Runge-M berkata bahwa untuk merealisasikan visi ini memerlukan transformasi progresif pasar untuk mengimbangi mekanisme, seperti CDM yang programatik dan mekanisme sektoral, diikuti dengan kemasan dan sistem pasar sebagai sektor kunci utama negara berkembang.
Bagaimanapun, investasi pasar karbon belum efektif bagi beberapa sektor, dan perlu dilengkapi dengan instrumen lain. Uni Eropa yakin bahwa mekanisme proyek joint implementation (JI) dan CDM akan berlanjut setelah tahun 2012. Keduanya penting bagi Negara Annex 1 yang berperan dalam pembangunan berkelanjutan dan transfer teknologi ketika menciptakan fleksibilitas berkaitan dengan keberhasilan pengurangan emisi.
Selama perdebatan, beberapa negara menyatakan kekecewaan dengan ketidakhadiran panelis dari Afrika. Beberapa negara berkembang sepakat dengan China atas kebutuhan peningkatan proses CDM. Bolivia dan Burkina Faso berkata bahwa perlu distribusi regional yang setara bagi proyek CDM, dan juga mempertimbangakan beberapa sektor yang belum layak masuk seperti LULUCF dan Kehutanan. Pada tahap ini mereka tidak mendukung pendekatan sektoral.
Ethiopia mengingatkan bahwa tujuan CDM untuk membantu Negara Non-Annex 1 (negara berkembang) dalam pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu melibatkan LDC dan mengenal secara komparatif keuntungan negara-negara yang melakukan penghutanan dan reboisasi.  Selandia Baru menjawab bahwa CDM ditujukan untuk menciptakan efisiensi biaya bagi negara maju, bukan untuk mencapai distribusi regional.
Dalam hal ini, Afrika Selatan berkata bahwa ketika mereka setuju dengan pentingnya meningkatkan CDM dan proyek distribusi regional yang setara, ini merupakan diskusi tentang mekanisme untuk mencapai pengurangan emisi. Ketika CDM harus ditingkatkan, seharusnya ada pembahasan lebih mendalam tentang artikel 3.9
Uni Eropa mengakui bahwa istilah "mengutamakan pembangunan ekonomi" tidak masuk dalam konvensi. Hal ini berkaitan dengan mekanisme pasar  karbon, dan telah jelas bahwa negara berkembang mempunyai perbedaan, demikian juga Uni Eropa memiliki negara-negara miskin dan negara-negara kaya. Pertanyaan ini harus dikerjakan di luar AWG-KP dan perlu dibahas hari berikutnya.
Jim Penman dari Uni Eropa berkata bahwa batasan kualifikasi emisi dan komitmen pengurangan disetujui di Kyoto dengan LULUCF sebagai tambahan fleksibel untuk membantu memenuhi komitmen tersebut. Namun sebelum perjanjian aktivitas LULUCF disetujui. Ketentuan sekarang cenderung membatasi insentif potensial para pihak untuk melindungi dan mengembangkan stok karbon dalam hutan, lahan pertanian dan padang rumput seperti penggunaan kayu berkelanjutan sebagai biomaterial dan sumber energi.
Sekarang ada kesempatan untuk membalikkan keadaan, dengan membuat peraturan awal sebelum menyetujui komitmen pengurangan emisi. Saat ini aturan penghitungan LULUCF dapat terintegrasi ke dalam rejim iklim sejak awal agar menyertakan negara maju pada insentif aksi mitigasi anthropogenic tambahan untuk menghindari insentif yang berlawanan. LULUCF harus mempertimbangkan empat aktivitas: pengelolaan hutan, pengelolaan lahan tanaman, pengelolaan lahan penggembalaan dan penanaman kembali yang tercakup dalam Artikel 3.4 KP.
Selama perdebatan, negara maju seperti Norwegia dan Selandia Baru menambahkan argumentasi untuk dimasukkan dalam "perluasan aktivitas LULUCF secara holistik dengan pendekatan inclusif". Menurut Norwegia, holistik berarti aktivitas penuh dan berhubungan dengan pertanian dan berdasarkan aturan perhitungan. Selandia Baru mengusulkan dua pendekatan untuk negosiasi yaitu meninjau kembali aturan dengan modifikasi ketika mengidentifikasi kesenjangan dan dilanjutkan dengan menciptakan aturan baru berdasarkan identifikasi dan prioritas kebutuhan.
Negara-negara berkembang seperti China, India, dan Brazil menyampaikan sanggahan. China mengatakan bahwa negosiasi atas LULUCF untuk periode komitmen pertama bertahan tujuh tahun. Dalam CDM, tidak ada kemajuan yang ilmiah dalam aksi mitigasi anthropogenic LULUCF. Para pihak tidak mempunyai waktu untuk memodifikasi aturan. Pada periode komitmen kedua seharusnya peraturan sudah kompatibel selama periode komitmen pertama, bukan mempersulit keadaan.
India mengatakan bahwa diskusi LULUCF seharusnya tidak digunakan untuk melemahkan komitmen Negara-Negara Annex 1 dalam mengurangi emisi di sektor  energi dan transport. LULUCF akan menghadapi isu tetap dalam langkah serupa yang dihadapi CDM untuk hutan. Perlakuan harus tidak berbeda. Mengutamakan Negara Annex 1 atas LULUCF perlu dilaksanakan secara hati-hati dengan mempelajari kemungkinan dampak persediaan pangan global. Perhatian harus ditingkatkan dalam aktivitas LULUCF dalam membantu meningkatkan pengurangan emisi.
Brazil mengatakan bahwa menurut data UNFCCC tahun 1990-2005, ada peningkatan emisi sebesar 0,5% di Negara Annex 1 dari sektor energi. Tampaknya partisipan mengalihkan masalah dari fokus utama. Pembicaraan banyak mengenai bagaimana sektor LULUCF menghitung 20% emisi global, tetapi 80% tetap berasal dari energi, sektor transportasi dan industri. Perkembangan  aktivitas LULUCF sebagai perwujudan usaha nyata dalam mengurangi emisi, ketika kerusakan hutan dan gangguan lain akan meningkat akibat perubahan iklim.
Brazil mengatakan bahwa mereka tidak senang dengan aturan yang telah ada, dan memperingatkan bahwa perluasan LULUCF seharusnya tidak digunakan untuk mengalihkan perhatian yang perlu dilakukan. Para pihak perlu memahami non-kesepahaman efek antara hutan dan pengurangan emisi. Brazil mengusulkan peningkatan dibuat atas aturan saat ini. Sekarang ini tidak ada panduan atau model praktik terbaik untuk digunakan. Negara-negara Annex 1 menginginkan aturan, kita juga ingin mempunyai dasar praktik terbaik yang sama.
Dalam tanggapannya, Picker dari Australia membela negara Annex 1 dengan mengatakan bahwa periode 2012 memerlukan kepastian bagaimana cara mengambil aturan itu. India dan Brazil menangkap kesan bahwa negara maju menggunakan aktivitas LULUCF sebagai upaya lepas tangan. Picker meyakinkan tidak demikian. Mereka hanya ingin kesepakatan aturan pertama sebelum membuat komitmen.
Diskusi meja bundar atas ketiga isu disampaikan oleh Shuichi Takano dari Jepang dengan menunjukkan suatu tabel pendekatan sektoral. Menurutnya ada dua kategori. Pertama adalah susunan target domestik melalui estimasi efektif emisi perluasan ekonomi dengan akumulasi mitigasi yang potensial dan dapat  menjadi materi dengan teknologi terbaik yang tersedia (BATs) atau Praktik Terbaik (BPs).
Yang kedua adalah kerjasama internasional pendekatan sektoral, dimana  aksi mitigasi sektor dengan pembagian lintas batas BATs dan BPs sesuai sekarang namun dengan tanggungjawab berbeda. Takano berkata, kita menggunakan standard penilaian yang setara untuk membandingkan upaya  masing-masing negara sesuai standar sasaran, yang bermanfaat dalam menghadapi kebocoran karbon.
Shuichi Takano menambahkan bahwa bagaimanapun dibutuhkan penghitungan biaya dan kemampuan tiap negera. Pendekatan sektoral akan dimulai dengan kunci sub-sektor, seperti pembangkit energi tenaga batubara (yang berkontribusi 70% emisi sektor energi), industri baja dan semen (yang berkontribusi 50% emisi sektor industri) dan transportasi jalan yang berkontribusi 70% emisi dari sektor transportasi.
Dia berkata bahwa Jepang percaya akan kerja Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dan Organisasi Maritim Internasional (IMO) akan memfasilitasi untuk menemukan solusi global di sektor penerbangan dan pelayaran internasional. Jepang berpikir bahwa mitigasi atas energi kelautan dan penerbangan internasional sangat penting. ICAO mempunyai program aksi yang melihat efisiensi energi sedangkan IMO mengembangkan program yang menetapkan kerangka mitigasi pelayaran internasional.
Marit Petterson dari Norwegia berkata bahwa emisi dari  transportasi laut dan penerbangan internasional tidak tercakup dalam komitmen Annex 1 namun artikel 2.2 Protokol Kyoto mengatakan bahwa Annex 1 akan memenuhi batas atau mengurangi emisi GHGS yang tidak terkontrol Protokol Montreal dari  energi penerbangan dan pelayaran, kerja melalui ICAO dan IMO.
Diskusi meja bundar ditutup dengan pernyataan pimpinan akan menyiapkan ringkasan dan akan membentuk contact group. Kelompok tersebut diharapkan menghasilkan dokumen dengan elemen yang akan dibahas dalam pembahasan perubahan iklim di Ghana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar